THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

5.10.2008

my home-made short story

since back there~i've had always love to write stories. long. short. hahaha. this is one of them.. the short one.
titled : "A Week..." *enjoy! ;)


Dua lewat sepuluh. Masih sama seperti hari biasa, di mana aku harus menghabiskan tujuh jam membosankan di gedung putih. Sekolah. Lengkap dengan segala macam atribut seragam, belum lagi segala macam buku tebal yang bahkan seringkali tak disentuh. Hah, menyebalkan.
Dan aku disini lagi. Rasanya seperti mengulang hari kemarin saja. Meringkuk di pojok panther hijau, menatap ke luar. Tanpa kata-kata. Padahal dua gadis, di sebelah dan di depanku, asyik mengobrol tanpa titik.
Ada sesuatu yang bukan milik kemarin. Hujan. Lebat. Lebat sekali... Tadipun harus rela berlari-lari berpacu hujan untuk sampai ke dalam mobil. Untung saja tas kain kremku sempat kuletakkan di dalam dulu. Mati saja kalau nggak. Sialnya lagi, mobil ini juga sangat nggak up to date. Jadi, aku harus rela menjadi ember sementara untuk tetes-tetes hujan yang numpang masuk seenaknya. Yak, baguss!
Aku melirik dua temanku itu lagi. Mengulum senyum simpul, tanpa mereka sadari. Mereka nampak tak perduli. Yasudahlah, aku pun tak tertarik. Adil, bukan?
Jari-jemari tak lentikku menggapai titik-titik air di sudut pintu. Tetapi kemudian cepat kutarik lagi. Kotor ih, jijik...seruku dalam hati. Lagi-lagi tak ada yang mendengar. Kali ini, dengan melirik sedikit, aku berandai menyentuh titik air di luar kaca. Pekerjaan bodoh sebenarnya... Di sebuah pertigaan, mataku tak sengaja menatap ke atas. Tertarik magnet elektron awan kelabu, barangkali? Seketika aku menarik nafas panjang. Tak berdesis. Sudah lama aku tak bersua dengan pemandangan ini. Padahal tadinya, aku ini penggemar setia. Entahlah, hidup seringkali memaksa kita memilih yang tidak kita benar sukai bukan?
Lagi-lagi...aku tersenyum. Agak terpaksa.
Tapi senyum itu kemudian berubah menjadi sangat lebar. Saat bertumbukan dengan sosok dua gadis kecil dan satu pria mungil. Mereka bermain hujan. Tentunya tidak di tengah jalan... Itu memang rumah mereka. Aku selalu melewati perkampungan kecil tak terawat itu. Pinggir jalan yang dirombak jadi tak berbentuk. Rumah? Bukan, tidak hanya rumah. Toko? Hah boro-boro bentuknya toko. Cuma kaya warteg nyasar gitu. Ohh atau mereka mengikuti trend? Kan lagi trend model minimalis.. HUSH?! Aku maki sendiri otakku. Yang benar saja...
Tapi tetap tidak ada yang memperhatikan.
Bola mataku mulai serupa hujan. Berkaca-kaca. Aku tak mau menoleh ke dalam. Tapi di saat yang sama aku malu melihat tatap aneh para pengendara motor di luar. Aku kira mereka tak bisa melihatku. Untunglah hujan masih menyayangiku. Yah, hujan tak aka pernah berhenti menyayangi yang terluka. Semakin deras surga menangis. Mengaburkan bayangan nyata dan aku...

**********

Sudah setahun. Rasanya sungguh baru kemarin. Yah, rasanya...
Aku berjalan menapaki trotoar panjang yang sepi. Ini jam dua belas kurang sepuluh. Malam. Jantungku sudah berdegup nggak karuan. Bisa tiba-tiba ngebut, habis itu ngerem. Payaaah.. Balapan liar yang tadi sempat kutemui saja nggak seperti ini. Wah, bisa-bisa aku menang kalo ikutan! Aku menarik nafas panjang. Meyakinkan tubuh, otak, dan hati untuk sekali ini saja...bekerja sama.
Hah, itu dia. Aku terpaku menatap pagar hitam itu. Terlalu asri untuk menjadi sebuah tempat kost. Tapi ini bilangan Jakarta dan yang di seberang sana itu, salah satu universitas papan atas. Untuk Indonesia... Sebentar aku melirik sedikit. Tak berani banyak-banyak, mengingat bawaanku banyak. Kompleks itu nantinya tempatku memperjuangkan intelektualitas dan nasib juga. Setahun lagi Ara... Setahun lagi.
Aku kembali pada stasiun hatiku di depan sana. Sengaja Yaris hitam kutinggal di pos satpam. Pertama, biar nggak berisik. Kedua, biar dijagain... Cewek sendiri, hari gini? Ke sini aja nggak pake basa-basi ijin. Bisa mati kalo pulang mobil pun ludes.
Perlahan aku telusuri phonebook di hapeku. Sangat mudah kutemukan. Sengaja kuletakkan paling bawah.. Kupencet nomernya.
”Aneh... kok nggak ada nada sambung yaa?”
Kucoba lagi. Sekali, dua kali, kemudian ada yang mengangkat.
”AH! Akhirnya... Hal-?”
”...nomor yang ada tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan, atau...”
Aku mulai tak sabar dan badanku menggetar kedinginan. Terang saja, walaupun mengenakan celana jeans, atasanku ini tank-top putih rumbai tipis. Baju kesayanganku untuk orang kesayanganku. Sebentar melirik ke arah jam...
”Mampus deh, tinggal lima menit lagi! Gimana donk!?!? Padahal yang xl sama esia udah gw telpon semua.. Kok tetep nggak ’idup juga orangnya?”
Aku mulai panik. Aku tak mau semua berantakan. Jangan lagi. Jangan sekarang...
Tiba-tiba dari seberang datang sinar kabut mobil,. Kontan aku ngumpet di balik pohon, walaupun sambil ngumpat karena itu silau banget.
Menunggu sebentar sampai mobil itu lewat. Di otakku hanya ada satu kalimat, ”...kalo gitu gw mesti loncat pager setelah ini mobil lewat!” Tapi justru aku mendengar mesin mobil itu dimatikan, lampunya pun seperti hilang ditelan. Aku mengintip. Hatiku seketika berdegup semakin kencang, kencang, dan keheranan. Kenapa mobil itu berhenti di depan rumah Leo?

**********

Serasa ingin menangis. Aku menatap ke atas dan melihat padang bintang yang sangat indah. Aku sungguh ingin menangis. Harusnya ini juga menjadi malam yang indah dan tak terganti. Satu butir air mataku meleleh dan tak bisa kutahan. Badanku bergemetar. Aku tak tahu harus melangkahkan kakiku kemana. Ke depan, pulang, dan meninggalkan semua begitu saja tanpa perjuangan? Melangkah ke belakang, mencari jawaban paling benar, sekalipun sama saja? Atau tetap di sini, mendengarkan semuanya sampai mati?
Aku menutup mataku. Kupandangi kotak kue yang atasnya transparan. Strawberry cheesecake. Setahun aku belajar membuatnya. Lalu...? Aku sandarkan kepalaku pada batang pohon, menoleh sedikit ke belakang. ”Tuhan...”
Aku hanya ingat itu terakhir yang kubisikkan.

**********

BRAK! Buset deh ini orang, nutup pintu santai aja kenapa yaa? Udah tau tengah malem gini pula. Sedikit demi sedikit aku gerakkan tubuhku ke kanan. Cukup sulit mengingat kedua tanganku membawa kotak kue dan tergantung kado di pergelangan kanan.
“Hai! Keluar donk. Sebentaaar aja. Lagi tidur yaa?”
Hening.
“Ih..lucu deh suara lo kalo lagi tidur. Keluar donk. Yaaagh…?”
Hening.
Aku sedikit jijik mendengarnya. Well, sangat… Kini aku bisa melihat sosoknya. Gadis dewasa, jelas lebih tua dariku. Badannya bagus, serupa model. Wajahnya pun cantik, alurnya sempurna. Mendadak aku iri, belum lagi dress yang dikenakannya. Sangat cantik. Aku mundur selangkah demi selangkah.
CKLEK! ”An? Ngapain lo...?”
”Iyoo...happy birthday yaa!”
Badanku lemas. Sungguh. Tapi tak ada air mata. Air mata tidak cukup menggantikan rasa yang menggema di dalam. Di atas kap mobil gadis itu digelar segala macam kue, bunga, dan kado yang sangat rapi dan bagus. Aku lirik milikku. Tak lebih dari barang kemarin sore. Sisa..
Lebih sesak melihat mereka berdua saling memeluk disana. Dengan bahasa tubuh si gadis yang begitu liar. Aku tahu cowok itu pasti begitu menikmatinya. Lagipula gadis itu pasti bisa ada disini. Setiap saat. Aku tersenyum perlahan, sangat perlahan. Berjalan mundur. Melepaskan tatapan di setiap langkah, sembari melepas hati dan kenangan. Agar mereka terbang saja bersama bintang...
Lari seperti ini terasa sangat ringan. Biasanya aku payah dalam hal lari. Kali ini aku berpacu dengan angin. Kotak kue itu tadi kuberikan pada kedua satpam yang begitu baik. Terserahlah, mereka tak akan protes sekalipun bertuliskan ”Happy birthday. Aku sayang kamu ’yo...”. Terengah-engah aku sampai di pinggir taman. Entah ini dimana, sebodo amat mau nyasar juga. Yang penting aku lega. Lega sampai ingin mati. Dan kemudian bersama fajar yang terbangun, teriakan dukaku membahana memantul di sinarnya.
Kemudian, hujan... Hujan terakhirku.

**********

Leo...

”Aduh, pagi-pagi gini ngapain ’ujan sih?! Tau gitu gw suruh si Anna tidur di kost aja tadi biar gw bisa numpang.”
Pemuda tampan itu berteduh sebentar di pos satpam dekat kostnya. Walaupun disana satpamnya pada udah nggak ada semua. Ganti shift kali yaa.. Lagian udah pagi, siapa yang mau maling jam delapan gini?
Ia hentakkan tangan kirinya, melihat jam Tag Heur-nya. Aduh mampus, telat kuliah deh gw!, serunya dengan mengeluarkan bunyi decak tak sabar. Bergantian ia melihat hujan dan jam. Hah, apa modal nekad aja yaa? Toh ini buku gw peluk, gw masukin tas. Paling becek dikit lah penampilan.. Ah masa ulang taun gini, nggak rapi sih? Dasar cowok metroseksual.
Baru saja ia akan berlari, saat matanya menatap benda tak biasa. Setidaknya tidak biasa ada di pos satpam. Kue tart. Masih seperempat... Dahinya berkerut. Masa iya si satpam ulang tahunnya kaya gw? Kaya gw sih nggak papa, tapi ngapain pake tart segala sambil jaga? Gilaa, manis amat! Ia berjalan mendekat, menoleh kanan-kiri. Geleng-geleng kepala kemudian tertawa pelan... ”Haha, aneh-aneh aja satpam jaman sekarang!...”, pundaknya bergerak naik-turun, ”...wah pada sakit perut kali yaa makanya ngilang?!”
Tawanya terhenti di tempat.
Bukan, dia tahu bukan satpam ini yang berulang tahun. Tapi dia, iya dia. Leo.
Ada ukiran namanya di atas seperempat kue itu.
Dahinya semakin berkerut, ”Nanti aja deh...”
Tapi rasa penasaran dan aneh membayanginya sepanjang sisa hari itu.

Aku pernah dengar suatu hari orang bilang, ”...hidup itu mudah. Hanya saja manusia yang membuatnya semakin sulit...”

Cowok itu sedang berlari kecil melewati pos satpam saat..., ”Mas Leo!”
”Eh iya, Pak...?”

Dan aku berdiri sendirian di sini, sesak nafas seperti dijerat karet. Tak pasti?
Bisa mengendur dan mengencang. Yo, aku butuh kepastian...


Semoga aku tak terlambat. Sungguh aku tak mau terlambat. Aku tak perduli aku melewati dua kelas mata kuliah siang dan sore ini. Dia ada disana. Tapi kenapa aku tidak terpikir?! Bodoh.
Kaki kananku bergetar tak berhenti, pertanda tak sabar. Rasanya setiap lima menit aku melihat ke arah jam kemudian berkata, ”Pak, bisa lebih cepet lagi?” Untung saja, supir Blue Bird ini tidak menurunkanku di jalan seketika. Kecapekan ngeladenin...
Akhirnya tinggal belokan di depan. PAS! Aku menjerit senang di dalam hati. Sengaja turun di depan, kemudian berjalan pelan menuju ke hall. Hall sekolah yang pernah menjadi sekolahku juga. Yang juga menjadi saksi tempat kami pertama kali bertabrakan mata.
Nafasku terengah-engah saat tiba di depan gerbang. Anak-anak berseragam putih-abuabu berjalan pelan. Berkelompok. Ala SMA, fikirku pelan. Aku tak ingin menarik perhatian, jadi aku tunggu di jembatan kecil depan gerbang. Tetap saja aku jadi perhatian.
Well, aku hindari segala macam basa-basi ngobrol. Tidak penting. Mataku membelah gerombolan anak SMA yang berseliweran, mencari sosok itu. Gadis kecilku. Dan itu dia.
Berdiri di sana, berjalan dengan rapi keluar gerbang. Aku tersenyum lebar, berjalan cepat sampai setengah berlari. Aku mau menggapainya, memeluknya, dan tak akan melepas...
Aku terpaku di tengah, sementara tubuh demi tubuh menabrak tubuhku yang lemas. Juga menabrak dengan pandangan tak wajar padaku, ke arahku. Biarlah. Anjing, siapa dia!? Siapa dia sampai tangan kirinya merangkul pundakmu hangat? Mulut ini kering dan bisu. Tapi tatapku tak bisa lepas. Dari satu sosok gadis cantik itu. Apa aku terlambat? Apa aku sebegitu terlambatnya? Bahkan hanya seminggu setelah malam itu.
Aku tahu gadis itu terlena dalam suka sampai tidak sadar aku ada. Ya, sampai siku sahabatnya menyenggolnya keras. Mengingatkan bahwa ada AKU disana. Kalau ia masih ingat aku...
Dan disanalah kami. Bertatapan antara dunia. Seketika semuanya kabur dan hanya ada kami yang saling berseberangan. Di bayangku... Tak ada yang bicara. Hanya menatap. Aku tahu mata itu. Mata yang terluka. Terluka oleh apa? Aku? Atau rindu? Aku mencoba tersenyum... Ia mengangkat dagunya pelan. Dan membuang mukanya. Setelah itu, ia sama seperti yang lainnya. Menabrak pelan tubuhku, sampai terdorong ke belakang...
Kemudian? Hujan.

Aku sudah menunggumu lebih dari cukup. Dengan berjuta ketidakpastian.
Dengan hanya cinta dan kepercayaan... Leo aku ini pecinta perbedaan.
Bila kamu tak bisa ikut berdiri di atasnya,
biarkan aku pergi saja.

”Wah, Mas berantem sama pacarnya yaa?”
Pemuda itu diam, berpikir basa-basi. ”Pacar, Mas?”
”Iyaa toh! Laa kuenya dikeki aku iki...”, logat Jawanya masih kental sekali.
”Memang ceweknya kayak apa, Pak”
Si Bapak senyum-senyum sendiri, memukul lenganku bahkan, ”Londo ngono loo... Cantik mas, pokoke!”
Pemuda itu seakan terbangun dari hipnotis kehidupan nyata.
Mulutnya berbisik, ”Ara...”
Dan matanya pun berkaca-kaca. Seakan menemukan ruang kosong di hatinya. Kembali terisi. Kemudian ia berlari, dan berlari...

Happy Birthday Leo.
Love... Ara

0 komentar: